R A F F A + E V A N : Chapter 17


Chapter 17
1 Tahun Kemudian




“Sekarang ciuman pake lidah.” Kata Evan.

                Kita berdua sedang bermesraan di kamar kos pada sore hari di mana hujan deras melanda Jakarta. Telanjang dan hanya ditutupi selimut. Sebelumnya kita sudah selesai mengerjakan tugas-tugas kuliah, lalu niatnya habis itu mau ke tempat gym, sayangnya pas kita berdua sudah bertelanjang dan siap ganti baju, hujan mendadak turus dengan deras. Akhirnya kita malah berakhir di kasur saling berduaan dan mencoba berbagai gaya berciuman.

                Gua dan Evan saling berciuman dan memain-mainkan lidah. Kita berdua memang sangat mahir dalam berciuman, hehehe...

“Oke-oke, sekarang hisap bibir...” kata gua.

                Mode berciuman kini berubah dari saling beradu lidah menjadi saling menghisap bibir lawan ketika berciuman.

                Sesekali kita berdua tertawa karena kelakuan ini. Satu jam kita habiskan hanya untuk berciuman dan bermesraan. Sampai akhirnya kita berdua tertidur karena dinginnya hujan dan hangatnya pelukan.

                Sudah satu tahun semenjak gua dan Evan mulai menganggap diri kita pacaran, walaupun sebenarnya kita hanya bersahabat saja. Friend with benefit lah kira-kira, hahaha... gua gak bisa menyangkal bahwa selama setahun ini Evan tampak lebih bahagia sekarang. Yaaa mungkin karena pada akhirnya dia bisa mendapatkan gua seutuhnya. Perjuangan yang telah dia lakukan selama dua tahun ini selesai sudah. Gua memang mengakui bahwa gua sekarang sangat menyayangi Evan sebagai teman ataupun sebagai pacar tak terungkapnya.

                Tidak banyak yang berubah selama satu tahun ini. Gua masih saja dan akan selalu terjebak satu kelas dengan Evan, hahaha, masih satu kosan dengan Evan, kita masih kuliah ditempat yang sama, masih dengan Margo, Misca dan Nanda. Ngomong-ngomong soal kosan gua, mungkin cukup aneh juga di mana cowok dan cewek bisa ngekost di satu tempat yang sama. Gua sempat bertanya sama yang punya kost, bapak-bapak yang sudah cukup tua, yang perutnya gendut dan sering pake sarung sama kaus kutang aja. Dia bilang dia nggak masalah dengan percampuran gender ini, selama yang nempatin bisa bayar, maka dia nggak ada masalah apa-apa. Makannya nggak jarang sering terjadi tindakan yang tidak-tidak di kosan ini. Seringnya sih yang berhubungan dengan selangkangan. Hehehe...

                Misca dan Nanda masih satu kosan. Misca pernah sempat pacaran selama enam bulan tahun kemarin, namun putus karena ternyata cowoknya hobi selingkuh. Gua cukup bersyukur karena akhirnya tidak lagi membahas soal si Alex.

                Sementara si Nanda masih saja betah menjomblo. Tapi biarpun dia statusnya adalah jomblo, bukan berarti dia tidak bisa menikmati surga dunia. Gua sudah tahu watak si Nanda. Beberapa kali gua mendapati cowok keluar dari kamar kosnya ketika si Misca sedang tidak di kosan. Yang terakhir kira-kira dua bulan yang lalu ketika gua hendak buang sampah ke kotak sampah, gua nggak sengaja ngeliat ada cowok keluar dari kamar Nanda, dan setelah gua balik dari membuang sampah gua melihat si Nanda keluar dari kamar kosnya. Pintu kamarnya yang dibiarkan terbuka memperlihatkan tidak ada Misca di kamarnya. Dari situ gua sudah bisa menebak apa yang sudah terjadi di kamar itu.

Nggak mungkin lah seorang cowok berdua dengan cewek cantik di kamar Cuma untuk belajar bersama atau mungkin adu main bola bekel. Asusila pasti sudah terlaksana. Lucunya setelah cukup lama mengetahui mengenai hal itu, pernah terbesit sesekali keinginan pada diri gua untuk mendapat giliran masuk ke kamar si Nanda dan mengalaminya sendiri, hahaha... :p


Sebuah bisikan menarik gua dari gelapnya tidur menuju ke sinar pagi yang mencerahkan. Begitu mata gua terbuka dan fokus gua sudah kembali gua menyadari kalo si Evan sudah pulang dari ritual lari paginya. Kini dia tiduran di samping gua dan berbisik-bisik untuk membangunkan gua. Kebiasaannya dia untuk membangunkan gua secara brutal dan tidak manusiawi secara perlahan mulai berkurang, walaupun tidak signifikan. Sekali lagi, tidak signifikan!

Gua menatap wajahnya yang memberikan senyum segar dan mencerahkan. Ada bekas-bekas keringat diwajahnya.

“Oh, udah selesai lo joggingnya?” gua bertanya dengan suara lemah khas baru bangun tidur.

“Ya udah lah, kalo belum nggak mungkin gua udah di sini sambil bawa nasi uduk.” Kata Evan, ia kemudian bangkit dan beranjak. “Sarapan yuk.”

                Naluri pembantu Evan—yang gua bersyukur tidak pernah berubah—langsung menyiapkan sarapan gua. Dia membuka kedua bungkus nasi uduknya, meletakannya di piring dan menyiapkan sendok serta garpu. Kemudian membawanya ke gua.

“Ehmmm, kayanya gua agak susah nih naruh nasi uduk lo di pangkuan lo.” Kata Evan.

“Hah? Emang kenapa?” gua bertanya bingung.

“Tuh...”

                Gua menatap ke bawah dan melihat masih ada tonjolan tenda dibalik selimut gua.

“Hahaha... ‘dia’ masih pengen bangun kayanya nih.” Kata gua. “Ya udah sini nasi uduknya.”

“Emangnya mimpi apa lo semalem? Ampe bangun terus begitu?” Evan bertanya sambil duduk disebelah gua, kita berdua mulai menyantap sarapan kita.

“Nggak mimpi apa-apa.” Jawab gua. “Ini efek alamiah kali, hahaha...”

“Hahaha, ngeles aja lo.” Kata Evan.

                Gua menyalakan televisi. Ada progres di kosan kita. Sekarang sudah ada LCD TV di kamar kos kita. Walaupun Cuma 32 inci tapi udah puaslah. Biar ada hiburan. Acara pagi kebanyakan soal berita, biasanya sekarang kalo pagi-pagi, gua dan Evan akan sarapan sambil mengomentari berita-berita di TV. Terkadang malah berlanjut debat mengenai adu pendapat dan argumen, sampai pada akhirnya salah satu dari kita akan ngambek seharian hanya untuk mempertahakan argumennya, dan yang satunya akan meminta maaf untuk mendamaikan suasana.
                Setelah sarapan naluri babu Evan akan mengambil piring gua yang sudah kosong dan meletakannya dimanapun dia suka untuk kemudian kembali duduk bersampingan dengan gua dan melanjutkan nonton berita.

                Begitu acara berita selesai, kita malah akan semakin terpaku di tempat karena berikutnya film kartun Tom & Jerry diputar. Kita bakalan menghabiskan waktu berdua menertawakan tingkah laku Tom dan Jerry yang merupakan musuh sekaligus sahabat abadi itu. Tom & Jerry semenjak sering diputar tiap pagi di salah satu stasiun tv belakangan ini menjadi kartun favorit kita berdua. Tiap pagi kita bakalan duduk berdua menikmati rasa kenyang sambil menyaksikan kartun favorit kita berdua itu.

“Gua tuh kalo ngeliat si Tom itu antara lucu dan kasian. Dia selalu berakhir mengenaskan setiap ngejar si Jerry.” Kata gua ketika melihat si Tom mengejar si jerry melewati sebuah pipa yang akhirnya membuat tubuh si Tom menjadi sangat panjang.

“Sama, Raff, gua juga antara kasian dan lucu.” Kata Evan. “Betewe, Raff, kalo kita berdua diumpamakan sebagai Tom & Jerry, yang jadi Tom-nya siapa ya?”

“Elu lah. Gua Jerry-nya.” Kata gua.

“Kenapa gua yang jadi Tom?”

“Kan elu sering ngejar-ngejar gua.” gua menjawab sambil tersenyum pede.

“Najong, narsis banget lo.” Evan berkata sambil melepaskan kaosnya yang sudah basah berkeringat.

“Lah bener kan, elu kan dari dulu ngejar-ngejar gua, hahaha...”

“Sotoy. Gak usah kepedean lo, Raff.”

“Halah, ngaku aja deeeeh, hahaha...”

                Evan menghelas nafas, sepertinya dia sedang tidak mau berdebat saat ini. Tapi dia berhasil memberikan akhir perbincangan yang menguntungkan dia. “Tapi bedanya kita sama Tom & Jerry, gua akhirnya bisa ngedapetin elu, Raff. Elu nyerah juga akhirnya, hahaha...”

                Mendengar perkataan si Evan gua akhirnya Cuma bisa diam sambil tersenyum. Mengakui kebenarannya dalam diam dan gengsi.

“Bener kan?!” Evan berusaha mengkonfirmasi.

“Hhmmm...”

“Jawaban apaan tuh?”

“Iya Evaaaan... elu bener.” Gua menoleh sambil mencubit kedua pipinya si Evan. “Elu akhirnya dapet jugaaaaa... puas?!”

“Hahaha... gitu dong. Kalo gitu kan seneng gua, hahaha...” dan Evan pun kemudian menyenderkan kepalanya di bahu gua. Kita kembali fokus menonton Tom & Jerry.

“Raff...”

“Hmmm...”

“Si Jerry itu tikus got, ya?”

Watdefak!



Sabtu siang, gua dan Evan, bersama Misca, Margo dan Nanda menghadiri resepsi pernikahan temen kampus kita. Maklum lah, mereka dari keluarga berada, jadi nikah pas masih kuliah pun bukan masalah besar. Kan masih punya orang tua yang tajir, hahaha... gosipnya sih dari Misca katanya si cewek temen kampus kita ini kebobolan. ‘Gawangnya’ akhirnya ke-gol-an juga, sehingga daripada menanggung malu mendingan dinikahin aja. Lagian mereka juga pacaran udah 4 tahunan.

                Intinya saat ini gua dan rombongan gua sudah berada di JCC, di resepsi pesta pernikahan temen gua yang super mewah ini. Untung aja gua dan Evan masih punya setelan kemeja, jadi nggak malu-malu amat beredar diantara orang-orang elit di sana. Gua dan Evan setelannya hampir mirip. Kita berdua mengenakan setelan kemeja putih dengan celana bahan hitam serta jas hitam. Kita juga mengenakan dasi slim warna hitam. Sepatunya pun sama-sama sepatu kulit.

“Enak ya jadi anak orang tajir, mau nikah aja tinggal bilang; ‘maa, minta kawin!’.” Kata Nanda, ketika kita bertiga duduk-duduk. Misca dan Evan sedang berburu makanan entah di mana, soal si Evan tenang aja, segala lemak yang ia konsumsi hari ini, semuanya akan dikeluarkan kembali lewat ritual lari paginya. Dan selain itu, gua yakin Misca dan Evan beredar untuk mencari satu hal lagi : Cowok Ganteng!

“Hahahah... nggak gitu juga kali Nda, mereka pasti ada alasan kenapa milih nikah pas masih kuliah gini.” Kata gua, dengan mata kemana-mana, salah satunya mencari di mana keberadaan si Evan. Ah ditemukan; dia sedang bingung milih makanan di salah satu salah satu sudut.

“Kalo kita mah mau nikah mesti kumpulin duit dulu.” Kata Margo. “Itupun kalo udah ada calonnya, kalo belom mah, Cuma ngumpulin duit doang.”

“Hehehe, elo lagi curcol, Mar?” kata si Nanda sambil ketawa dikit.

“Enak aja.” Kata Margo.

Kita berdua diam sebentar menatapi ruangan resepsi yang mewah dan dipenuhi orang-orang tajir atau setidaknya terlihat tajir.

“Betewe, mereka bulan madu kemana ya?” tanya Nanda.

“Gua denger dari gosipnya si Misca sih katanya mereka mau ke Venesia atau nggak Maldives gitu. Keren ya.” Kata Margo. “Emang enak ya jadi orang kaya, hahaha...”

“Duuuuh, Maldives kan keren banget tuh tempatnya... Venesia juga keren tuh. Romantis-romantis gimana gitu tempatnya.” Kata Nanda.

                Nanda tampak cantik dengan pakaian gaun siangnya, sementara Margo bersetelan hampir serupa dengan gua dan Evan, Cuma dia tidak mengenakan dasi dan kancing paling atasnya ia buka. Misca sama cantiknya dengan Nanda, mengenakan gaun elegannya disertai dandanan yang natural.

                Misca dan Evan akhirnya kembali dari berburu. Hasil buruan mereka berupa 5 gelas es krim cokelat Häagen-Dazs yang Evan bawa dengan sebuah nampan putih.

“Hai teman-temaaaan...” kata Evan begitu cerianya, seperti induk yang pulang ke rumah membawa hasil tangkapan untuk keluarganya. “Nih gua bawa oleh-oleh dari hasil berburu makanan gua.” si Evan meletakan nampan tersebut.

“Elo ngerampok es krim, Van?” tanya gua begitu melihat betapa banyaknya es krim dalam tiap gelas tersebut. Gua yakin Evan menyabotase sendok es krimnya dan menyendok es krimnya secara membabi-buta. “Ini es krim banyak banget. Kaya abis aja ntar gua makannya.”

“Gua malah niatnya tadi mau bawa toplesnya sekalian ke sini. Cuma kan gak lucu aja kalo kita makan berlima dari satu tempat.” Kata Evan.

“Ya tapi ini tetep aja kebanyakan Van, gua pasti nggak habis nih.” Kata gua.

“Ya udah sih, kalo nggak habis dibungkus aja buat dibawa pulang. Susah amat.” Evan tampak bete karena usahanya tidak dihargai.

“Elo tuh ya, Raff, udah baek si Evan ngebawain elu es krim. Elu bukannya makasih malah ngeritik.” Misca tampak berusaha di pihak Evan, walaupun gua tau kalo dia juga geli melihat banyaknya es krim di gelasnya.

“Gua suka kok.” Kata Margo. “Es krimnya enak. Harusnya elo bawa toplesnya ke sini, Van. Biar kita bawa pulang, terus lanjut makan di kosan.”

“Elu emang temen yang baek, Mar.” Kata Evan. “Gitu tuh, temen yang baik. Tau gimana caranya bikin temen seneng, tau caranya ngehargain usaha temen.” Evan mengatakan kalimat itu sambil matanya ngelirik-lirik gua. Wah, kalo keterusan bisa berakhir si Evan ngambek sama gua. Ini nggak bisa dibiarin. Evan kalo ngambek bisa bawa sial.

“Iya deh, Van... gua seneng elu bawa es krim banyak-banyak gini. Kalo gua pikir-pikir elu tuh orangnya berpikir ke depan ya. Elu bawa es krim banyak, supaya bisa dibawa pulang terus disimpen di kulkas, buat dimakan nanti-nanti. Elu emang hebat, Van.”

“Kenape lo?” Evan menatap gua dengan pandangan aneh.

“Nggak, nggak kenapa-kenapa.” Kata gua.

“Ckckckck, suami-istri, Cuma gara-gara es krim aja berantem. Bulan madu lagi gih sana.” Kata si Nanda akhirnya berbicara setelah dia memakan beberapa sendok es krim. Ini adalah es krim favoritnya soalnya.

“Woy... elu dateng juga rupanya.” Sebuah suara muncul dan berikutnya orangnya juga terlihat.

Kita berlima menoleh ke arah datangnya suara itu.

“Woy, Raf.” Kata Evan begitu melihat kemunculan Rafael. Gua gak nyangka si Rafael juga datang di pesta ini. Setelannya mirip sekali dengan setelannya si Margo. “Sama siapa lo ke sini? Kok gua baru liat elo?”

“Sendiri aja gua.” jawab Rafael, “Hei, another Raffael, hahaha...”

“Hehehe... apa kabar lo, Raf?”

“Baek, gua... elo sendiri gimana?”

“Gua baek, hehehe... gimana, masih kuliah malem lo?”

“Kagak, gua udah kuliah pagi lagi sekarang. Kuliah malem banyak setannya.”

“Hahaha... bisa aja lo.” Gua tertawa kecil.

“Eheemmm... kita temennya Raffa sama Evan lhooo.” Mendadak Misca berbicara sambil memegang bahu gua. Gua tau maksudnya.

“Oh, ya Tuhan. Sorry-sorry.” Rafael tersenyum sebentar menyadari kelupannya berkenalan dengan yang lain. “Hai, saya Rafael.”

“Ih, namanya sama ya. Sama-sama ganteng lagi, hihihi... gua mulai berpikir apakah semua cowok yang namanya Raffael ganteng-ganteng semua?” kata Misca. “Saya Misca.”

“Nanda...”

“Margo.”

“Kemaren-kemaren, kuliah malem ya, Raf?” tanya Misca. “Deuuuh, untung deh sekarang udah kuliah pagi lagi. Apa enaknya kuliah malem, kan gak lucu aja kuliah barengan sama mbak kunti. Mendingan kuliah siang, kan ada kita... ada akuuu.”

“Iya-iya, makannya sekarang kuliah pagi lagi. Udah kapok duduk sebelahan sama mbak kunti.” Kata Rafael.

“Hah, yang bener Raf, elu sering duduk sebelahan sama kuntilanak?” tanya Evan, yang secara lugu menanggapi serius omongan si Rafael.

“Hahaha, nggak, becanda doang.”

“Iiiiih, minta dicubit deeh,” Misca mulai keganjenan. “Seneng banget sih melucuuuu. Tau aja aku suka yang lucu-lucu.”

“Mis, inget anak sama suami nunggu di rumah.” Kata si Nanda.

                Rafael hanya tertawa sedikit malu saja menanggapi omongan si Misca.

“Eh gua duluan ya,” kata Rafael. “Sorry banget nggak bisa lama-lama.”

“Yaaaah, cepet amat Raf, kita jadi cedih deeeeeh.” Kata Misca sok imoet.

“Iya nih, sorry banget ya...” kata Rafael, dan dia pun pamit. Berjalan sendiri, menjauh sampai akhirnya menghilang dibalik kerumunan orang-orang.

“Gua pernah liat tuh anak. Dulu banget...” kata Nanda begitu Rafael sudah nggak keliatan lagi.

“Gimana-gimana-gimana?” Misca bertanya dengan semangat.

“Iya, waktu gua lagi nunggu lift, trus pas pintu lift kebuka gua liat dia, mukanya biru-biru gitu, sama temennya juga mukanya biru-biru gitu. Kaya abis berantem gitu deh.” Nanda menjelaskan. “Mana dibelakangnya cewek-cewek pada rempong banget lagi.”

                Wajah kita berempat tampak bingung.

“Biru-biru gimana? Dia abis gladiresik drama kali, adegan tauran?” kata si Evan.

“Ya meneketehe, tapi mukannya itu jutek amat. Temennya juga jutek juga. Orang yang pada nunggu lift aja ampe bengong sebentar ngeliat mereka berdua.” Kata Nanda. “Ya sampai disitu aja sih, pas mereka keluar gua udah nggak tau lagi.”

“Wah, kenapa ya.” Kata si Margo. “Abis berantem kali sama temennya.”

“Tapi terlepas dari semua itu, si Rafael ganteeeeeng, ganteng banget!” kata si Nanda yang akhirnya keluar juga sisi kecentilannya.

“Huuuuu, dasar jaim. Giliran tadi ada orangnya diem aja.” Kata si Misca.

“Yah, Mis, gimana ya, gua kan bukan elu yang obralan-cuci gudang, hahaha...” kata Nanda.

“Sialan...”

“Hahaha...” kita berlima tertawa bersama.

                Kita masih saja ngobrol selama kira-kira lima belas menit sebelum kemudian memutuskan untuk pulang. Misca, Nanda dan Margo pulang bersama naik mobil si Margo, sementara gua dan Evan naik busway menuju apartermen abangnya si Evan. Dari sebelum berangkat ke kondangan Evan sudah ngajak gua buat berakhir pekan di apartemen abangnya, karena dari jumat sampai senin abangnya keluar kota.
                Begitu tiba gua langsung rebahan di kasurnya si Evan. Peluk-peluk bantal guling karena kelelahan, satu jam berdiri di busway itu lumayan juga capeknya. Evan menyusul kemudian, tidur-tiduran disamping gua.

“Capek ya Raff?” tanya Evan.

“Iya.” Jawab gua dengan mata terpejam menikmati nikmatnya perpaduan ranjang empuk dan bantal empuk.

                Tiba-tiba Evan mendekati gua dan mencium bibir gua.

“Kenapa?” tanya gua setelah kecupan tadi.

“Pengen aja.” Jawab Evan sambil kembali tiduran.

“Yeeee, nggak jelas.” Jawab gua.

                Evan Cuma cengar-cengir aja.

“Mandi yuk, gua nggak enak nih badan gua. Lengket-lengket gitu. Mau ikutan nggak Raff?”

“Ya udah, yuk.”

                Kita berdua pun beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Melepaskan kaos kaki kita, kemudian jas kita, lalu dasi, lalu melepaskan kemeja putih kita, kemudian melepaskan kaos dalam, lalu menurunkan celana dan terakhir menanggalkan celana dalam kita. Kita bersama-sama telanjang menuju ke tempat shower.
                Menikmati segarnya siraman air yang melenyapkan rasa lelah. Lalu pancuran dimatikan dan tiba saatnya saling menyabuni diri. Awalnya kita saling menyabuni diri masing-masing, lalu kemudian saling menyabuni punggung lawan. Gua pertama menyabuni punggung Evan, lalu berikutnya Evan yang menyabuni punggung gua. Evan menyabuni punggung gua, namun kemudian secara perlahan gua merasakan penis gua mulai disabuni lalu dimain-mainkan, dan saat yang bersamaan gua mulai merasakan Evan mulai mengecup-ngecup leher belakang gua.
                Berikutnya gua membalikan badan gua dan kitapun berciuman. Shower kembali dinyalakan dan air membasuh tubuh kita dari sabun. Setelah semenit berciuman Evan merendahkan badannya sampai berlutut didepan penis gua yang sudah setengah tegang. Ia melumatnya kemudian. Dalam sekejap sensasi hisapan Evan merasuk ke seluruh tubuh gua. Mata gua secara alami merem-melek menikmati hisapan Evan.
                Kemudian ia kembali berdiri dan mencium gua. kita berdua memutuskan untuk menyelesaikan mandi kita lalu mengeringkan diri dan menuju tempat tidur. Gua merebahkan diri telanjang di kasur Evan, sementara Evan menimpa tubuh gua dan mencium gua, mencium leher gua, dada gua, pentil gua, perut gua, pusar gua dan berakhir dia menghisap penis gua. Gua mendesah-desah kenikmatan. Service Evan dalam soal hisap-menghisap memang juara! Sesekali gua menggelinjang karena tidak sanggup melawan nikmatnya hisapan mulut Evan.
                Setelah lima menit Evan menservis penis gua, Evan mengeluarkan sebuah kondom dari laci sisi tempat tidurnya lalu memasangkannya di penis gua yang sudah tegak dan keras. Kemudian dia mengolesinya dengan pelicin sebelum kemudian dimasukannya ke dalam lobang pantat Evan.
                Kita bercinta sore itu. Suara-suara desahan beradu dalam nafsu birahi. Evan tiduran dengan kedua kaki terbuka lebar, memberikan ruang bagi gua untuk menyodok-nyodok pantatnya yang keras dan montok itu. Gua sesekali mendekati wajah Evan dan menciumnya sambil penis gua terus menyodok pantatnya.
                Beberapa menit berlalu dan kita berganti posisi, Evan menungging disisi tempat tidur dan gua berdiri menyodoknya dari belakangnya. Evan tampak menikmati setiap sodokan gua walaupun sesekali ada rasa perih, sementara gua yang sudah dibakar birahi terus saja menghajar pantat Evan. Kita berdua tidak henti-hentinya saling mendesah dan sesekali mengerang kenikmatan. Bosan dengan posisi ini, kini kita berganti posisi lagi. Kali ini gua yang tiduran sementara Evan menunggangi gua seperti sedang dalam pacuan kuda. Pantatnya bergerak naik turun diiringi desahan dan erangan.
                Lima menit kemudian ganti lagi posisi di mana kembali keposisi awal. Evan tiduran terlentang dengan kedua tangan meramas-remas bantal, sementara gua berada diantar kedua kaki Evan menyodok-nyodok penis Evan. Gua kembali mencium Evan dengan penuh nafsu yang ditanggapi tidak kalah hebatnya oleh Evan. Tangan Evan sudah mulai mengocok-ngocok penisnya dan beberapa menit kemudian perpaduan antara kocokan penis dan sensasi nikmat gua entot, Evan akhirnya mengeluarkan cairan spermanya. Menyemprot kencang mengenai wajahnya. Dia mengejang-ngejang disertai erangan keras sebagai wujud puncak kenikmatanya. Gua pun mempercepat sodokan gua sampai adrenalin dan birahi menghasilkan rasa orgasme yang luar biasa. Gua juga mengerang dengan badan gua mengejang ketika cairan sperma gua keluar. Sensasi kenikmatan yang luar biasa gua rasakan saat ini.
Gua terdiam beberapa saat sampai kemudian kelelahan kembali merasuk ke diri gua. Gua tertidur lunglai dengan nafas ngos-ngosan di sisi Evan. Kondom yang sudah terisi sperma masih saja menggantung di penis gua yang sudah mulai melemas.

“Haaah, capek.” Kata gua masih berusaha bernafas dengan baik.

“Haaah, enak.” Kata Evan yang pernafasannya sudah kembali normal.

“Hahaha...” gua tertawa.

                Kita berdiam diri sejenak lalu setelah dirasa sudah cukup tenaga kita kembali berpindah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kali ini murni membersihkan diri, ya walaupun sedikit diselingi berciuman dan berpelukan.

                Lalu setelah dirasa bersih dari sisa-sisa birahi sebelumnya, gua dan Evan mengeringkan diri dan kembali ke tempat tidur. Duduk berdua bersandar saling berpelukan dan menyaksikan acara televisi yang tidak menarik-menarik amat.

“Gua inget, pertama kali elo ke sini waktu elu malah berakhir sakit.” Kata Evan disela-sela acara nonton tv asal-asalan kita.

“Iya... dan elu waktu itu baik banget mau ngerawat gua yang lagi sakit.” Kata gua ikutan mengingat-ingat saat di mana gua bikin repot Evan dirumahnya sendiri.

“Kan elo temen gua Raff, elu juga tamu di sini. Udah selayaknya tamu diperlakukan dengan istimewa.” Kata Evan.

“Iya, sangkin istimewanya elu ampe mandiin gua segala, hahaha... waktu itu puas banget deh elu menjamah tubuh gua pas lagi telanjang.” Kata gua.

“Apaan sih lo Raff, ada-ada aja.” Evan tampak tersipu malu dan salah tingkah dalam pelukan gua.

“Hahaha, diraba-riba, diusap-usap, berkah banget ya buat elo waktu itu. Kesempatan dibalik kesengsaraan orang, hahaha...”

“Raff, itu murni karena gua pengen ngerawat elu. Elu kotor dan bau, gua jadi iba. Makannya gua mandiin.” Hahaha, si Evan masih nggak mau ngaku.

“Gua juga jadi inget pas gua sakit elu nyuapin gua, hahaha...” kata gua sambil tertawa kecil sendiri.

“Aaaahhh...” Mendadak Evan teringat sesuatu. Ia pun kemudian beranjak dari tempat tidur dan berjalan telanjang keluar. Ia kembali kemudian dengan membawa Es krim. Es Krim merek lain yang dia bawa, gua pikir es krim dari kawinan tadi yang dia selundupkan untuk dibawa pulang, tapi untungnya itu tidak terjadi. Es krim yang dia bawa sepertinya es krim sisa kemarin atau apalah, soalnya pas dibuka tutupnya sudah tinggal setengah. Ia kembali ke kasur dan menyelipkan diri dibalik selimut dan gua kembali memeluknya. “Paling asik nih pas gini-gini. Nonton, ngobrol sambil makan es krim.”

“Hahaha, bisaan aja lo.”

                Evan mulai menyuapi gua dan gua menerimanya. Kemudian ia menyuapi diri sendiri. Dan itupun terus berlanjut sampai es krim habis. Kita bersama-sama menikmati saat kebersamaan kita. Gua yang terus disuapi Evan, memeluknya dan pembicaraan kembali mengenai mengomentari acara yang sedang tayang di televisi.


Sebuah momen yang tidak sering terjadi ketika gua, Evan, Margo, Misca dan Nanda berjalan bersama-sama pada siang hari menuju kampus. Bermula dari jadwal kelas yang mulai bersamaan ditambah kita berlima kebetulan sama-sama laper jadi kita lunch dulu di warteg terdekat. Lalu setelah makan siang, niatnya pengen ‘bobo-bobo siang’ dulu tapi itu tidak mungkin terjadi kecuali jika hanya gua dan Evan saja yang makan siang, kita bergerak bersama menuju kampus.

“Panas ya.” Kata Misca merasa kepanasan, padahal dia bawa payung pas siang bolong begini. Dia berduaan sama Nanda berpayung ria, sementara kita cowok-cowok berpanas-panasan karena gak kebagian payung. “Raff, AC-nya nyalain dong. Panas nih.”

“Orang gila!” kata gua sambil jalan. “Gimana caranya coba di udara luar gini nyetel AC.”

“Elo makannya beli AC portabel, Raff.” Kata Misca.

“Orang gila!”

“Lagian elu mis, ujan juga kagak, elu malah pake payung.” Kata Evan.

“Eh, Evan, asal elu tau ya, asal mula payung itu dibuat buat ngelindungin orang dari panas matahari, tauuk! Sekarang-sekarang aja dipake buat supaya nggak kena ujan. Gua tuh Cuma mencoba mengembalikan kegunaan awal dari payung aja. Lagian gak ada salahnya juga gua pake payung, orang panas banget. Gua gak mau kulit remaja gua jadi item.”

“Yeaaah, whatever.” Kata Evan tidak peduli.

“Eeeeh, sabtu kita nonton di Gandaria yuk... gua mau ngerasain IMAX nih.” Kata Nanda.

“Mau-mau-mau, gua juga mau ngerasain IMAX. Kata temen gua keren banget.” Margo menanggapi dengan semangat.

“Eh gila, sabtu kan harga tiketnya nggak manusiawi. Seratus ribut, cyin! Maharani!” kata Misca.

“Oh iya ya,” kata Nanda. “Ya udah kita nonton pas hari biasa aja.”

“Hari biasa berapa?” Tanya Margo.

“Hari bisa lima puluh ribu. Setengah harga weekend tuh.” Kata Misca.

“Ya udah.” Margo menyetujui. “Asik-asik-asiiiik, bisa nonton 3D IMAX.”

“Gandaria itu di mana ya?” gua yang lugu akan lokasi-lokasi Jakarta bertanya.

“Di Jakarta, Raff. Elu gimana sih, masa gitu aja nggak tau.” Evan menjawab dengan cerdasnya.

“Eh nenek-nenek juga tau kalo Gandaria itu di Jakarta, tapi tepatnya di mana, Evaaaaan.” Kata gua.

“Arah mau ke pondok indah, Raff, emang agak ribet sih kesananya.” Kata si Nanda. “Tapi enak kok mallnya, lumayan oke.”

“Ya sip lah kalo gitu, gua ikut aja ama kalian.” Kata gua. “Van, kalo Pasar Senen deket mana, Van?”

“Deket Pasar Rebo.” Evan menjawab dengan mantab!

                Kita berempat Cuma bisa geleng-geleng kepala.               

Perjalanan kita sedang asik-asiknya, diselingi obrolan serta canda dan tawa. Sampai tiba-tiba segalanya terjadi secepat kilat.

BRAK!

                Gua terpental.

Sebuah motor melaju cepat dari arah belakang dan menyerempet gua. Gua jatuh di aspal dan gua denger Misca dan Nanda menjerit-jerit memanggil nama gua. Nggak lama kemudian semua menjadi gelap.

                Beberapa saat kemudian gua kembali sadar. Gua berada dalam sebuah mobil.

“Raff, Raff, elu masih sadar kaaan?” Gua melihat Misca berkata dengan wajah super cemas.

“Oh my God, DARAHNYA KELUAR BANYAK, MAS!” Seru Evan histeris.

                Dan segalanya kembali menjadi gelap. Lalu beberapa saat gua kembali sadar lagi.

“Raff, elu harus kuat Raff!” kata Nanda. “Jangan pingsan lagi!”

“Raffa, kita udah mau nyampe rumah sakit, cuy. Elu harus tetep sadar.” Kata Margo.

                Wajah teman-teman gua tampak begitu panik dan cemas.

“Ya-ya, mas-mas, dia pingsan lagi!” Seru si Nanda.

                Pandangan gua kembali gelap.

“Ini kayanya tangannya patah nih.” Seseorang yang tidak gua kenal berkata, ketika gua kembali sadar lagi.

“Yang bener mas?!” Evan bertanya tidak percaya dan luar biasa khawatir. “Elo jangan sembarangan!”

“MAS-MAS, DARAHNYA KELUAR LAGI!” Misca menjerit histeris. “RAFFAAAA, JANGAN MATIIIIII!!!”

                Semuanya kembali gelap untuk waktu yang lama.




Bersambung ke Chapter 18