Chapter 17
1 Tahun Kemudian
“Sekarang ciuman
pake lidah.” Kata Evan.
Kita berdua sedang bermesraan di
kamar kos pada sore hari di mana hujan deras melanda Jakarta. Telanjang dan
hanya ditutupi selimut. Sebelumnya kita sudah selesai mengerjakan tugas-tugas
kuliah, lalu niatnya habis itu mau ke tempat gym, sayangnya pas kita berdua
sudah bertelanjang dan siap ganti baju, hujan mendadak turus dengan deras.
Akhirnya kita malah berakhir di kasur saling berduaan dan mencoba berbagai gaya
berciuman.
Gua dan Evan saling berciuman
dan memain-mainkan lidah. Kita berdua memang sangat mahir dalam berciuman,
hehehe...
“Oke-oke,
sekarang hisap bibir...” kata gua.
Mode berciuman kini berubah dari
saling beradu lidah menjadi saling menghisap bibir lawan ketika berciuman.
Sesekali kita berdua tertawa
karena kelakuan ini. Satu jam kita habiskan hanya untuk berciuman dan
bermesraan. Sampai akhirnya kita berdua tertidur karena dinginnya hujan dan
hangatnya pelukan.
Sudah satu tahun semenjak gua
dan Evan mulai menganggap diri kita pacaran, walaupun sebenarnya kita hanya
bersahabat saja. Friend with benefit lah kira-kira, hahaha... gua gak bisa
menyangkal bahwa selama setahun ini Evan tampak lebih bahagia sekarang. Yaaa
mungkin karena pada akhirnya dia bisa mendapatkan gua seutuhnya. Perjuangan yang
telah dia lakukan selama dua tahun ini selesai sudah. Gua memang mengakui bahwa
gua sekarang sangat menyayangi Evan sebagai teman ataupun sebagai pacar tak
terungkapnya.
Tidak banyak yang berubah selama
satu tahun ini. Gua masih saja dan akan selalu terjebak satu kelas dengan Evan,
hahaha, masih satu kosan dengan Evan, kita masih kuliah ditempat yang sama,
masih dengan Margo, Misca dan Nanda. Ngomong-ngomong soal kosan gua, mungkin
cukup aneh juga di mana cowok dan cewek bisa ngekost di satu tempat yang sama.
Gua sempat bertanya sama yang punya kost, bapak-bapak yang sudah cukup tua,
yang perutnya gendut dan sering pake sarung sama kaus kutang aja. Dia bilang
dia nggak masalah dengan percampuran gender ini, selama yang nempatin bisa
bayar, maka dia nggak ada masalah apa-apa. Makannya nggak jarang sering terjadi
tindakan yang tidak-tidak di kosan ini. Seringnya sih yang berhubungan dengan
selangkangan. Hehehe...
Misca dan Nanda masih satu
kosan. Misca pernah sempat pacaran selama enam bulan tahun kemarin, namun putus
karena ternyata cowoknya hobi selingkuh. Gua cukup bersyukur karena akhirnya
tidak lagi membahas soal si Alex.
Sementara si Nanda masih saja
betah menjomblo. Tapi biarpun dia statusnya adalah jomblo, bukan berarti dia
tidak bisa menikmati surga dunia. Gua sudah tahu watak si Nanda. Beberapa kali
gua mendapati cowok keluar dari kamar kosnya ketika si Misca sedang tidak di
kosan. Yang terakhir kira-kira dua bulan yang lalu ketika gua hendak buang
sampah ke kotak sampah, gua nggak sengaja ngeliat ada cowok keluar dari kamar
Nanda, dan setelah gua balik dari membuang sampah gua melihat si Nanda keluar
dari kamar kosnya. Pintu kamarnya yang dibiarkan terbuka memperlihatkan tidak
ada Misca di kamarnya. Dari situ gua sudah bisa menebak apa yang sudah terjadi
di kamar itu.
Nggak mungkin lah seorang cowok berdua dengan cewek cantik di kamar Cuma
untuk belajar bersama atau mungkin adu main bola bekel. Asusila pasti sudah
terlaksana. Lucunya setelah cukup lama mengetahui mengenai hal itu, pernah
terbesit sesekali keinginan pada diri gua untuk mendapat giliran masuk ke kamar
si Nanda dan mengalaminya sendiri, hahaha... :p
Sebuah bisikan
menarik gua dari gelapnya tidur menuju ke sinar pagi yang mencerahkan. Begitu
mata gua terbuka dan fokus gua sudah kembali gua menyadari kalo si Evan sudah
pulang dari ritual lari paginya. Kini dia tiduran di samping gua dan
berbisik-bisik untuk membangunkan gua. Kebiasaannya dia untuk membangunkan gua
secara brutal dan tidak manusiawi secara perlahan mulai berkurang, walaupun
tidak signifikan. Sekali lagi, tidak signifikan!
Gua menatap
wajahnya yang memberikan senyum segar dan mencerahkan. Ada bekas-bekas keringat
diwajahnya.
“Oh, udah
selesai lo joggingnya?” gua bertanya dengan suara lemah khas baru bangun tidur.
“Ya udah lah,
kalo belum nggak mungkin gua udah di sini sambil bawa nasi uduk.” Kata Evan, ia
kemudian bangkit dan beranjak. “Sarapan yuk.”
Naluri pembantu Evan—yang gua bersyukur
tidak pernah berubah—langsung menyiapkan sarapan gua. Dia membuka kedua bungkus
nasi uduknya, meletakannya di piring dan menyiapkan sendok serta garpu.
Kemudian membawanya ke gua.
“Ehmmm, kayanya
gua agak susah nih naruh nasi uduk lo di pangkuan lo.” Kata Evan.
“Hah? Emang
kenapa?” gua bertanya bingung.
“Tuh...”
Gua menatap ke bawah dan melihat
masih ada tonjolan tenda dibalik selimut gua.
“Hahaha... ‘dia’
masih pengen bangun kayanya nih.” Kata gua. “Ya udah sini nasi uduknya.”
“Emangnya mimpi
apa lo semalem? Ampe bangun terus begitu?” Evan bertanya sambil duduk disebelah
gua, kita berdua mulai menyantap sarapan kita.
“Nggak mimpi
apa-apa.” Jawab gua. “Ini efek alamiah kali, hahaha...”
“Hahaha, ngeles
aja lo.” Kata Evan.
Gua menyalakan televisi. Ada
progres di kosan kita. Sekarang sudah ada LCD TV di kamar kos kita. Walaupun
Cuma 32 inci tapi udah puaslah. Biar ada hiburan. Acara pagi kebanyakan soal
berita, biasanya sekarang kalo pagi-pagi, gua dan Evan akan sarapan sambil
mengomentari berita-berita di TV. Terkadang malah berlanjut debat mengenai adu
pendapat dan argumen, sampai pada akhirnya salah satu dari kita akan ngambek
seharian hanya untuk mempertahakan argumennya, dan yang satunya akan meminta
maaf untuk mendamaikan suasana.
Setelah sarapan naluri babu Evan
akan mengambil piring gua yang sudah kosong dan meletakannya dimanapun dia suka
untuk kemudian kembali duduk bersampingan dengan gua dan melanjutkan nonton
berita.
Begitu acara berita selesai,
kita malah akan semakin terpaku di tempat karena berikutnya film kartun Tom
& Jerry diputar. Kita bakalan menghabiskan waktu berdua menertawakan tingkah
laku Tom dan Jerry yang merupakan musuh sekaligus sahabat abadi itu. Tom &
Jerry semenjak sering diputar tiap pagi di salah satu stasiun tv belakangan ini
menjadi kartun favorit kita berdua. Tiap pagi kita bakalan duduk berdua
menikmati rasa kenyang sambil menyaksikan kartun favorit kita berdua itu.
“Gua tuh kalo
ngeliat si Tom itu antara lucu dan kasian. Dia selalu berakhir mengenaskan
setiap ngejar si Jerry.” Kata gua ketika melihat si Tom mengejar si jerry
melewati sebuah pipa yang akhirnya membuat tubuh si Tom menjadi sangat panjang.
“Sama, Raff, gua
juga antara kasian dan lucu.” Kata Evan. “Betewe, Raff, kalo kita berdua
diumpamakan sebagai Tom & Jerry, yang jadi Tom-nya siapa ya?”
“Elu lah. Gua
Jerry-nya.” Kata gua.
“Kenapa gua yang
jadi Tom?”
“Kan elu sering
ngejar-ngejar gua.” gua menjawab sambil tersenyum pede.
“Najong, narsis
banget lo.” Evan berkata sambil melepaskan kaosnya yang sudah basah berkeringat.
“Lah bener kan,
elu kan dari dulu ngejar-ngejar gua, hahaha...”
“Sotoy. Gak usah
kepedean lo, Raff.”
“Halah, ngaku
aja deeeeh, hahaha...”
Evan menghelas nafas, sepertinya
dia sedang tidak mau berdebat saat ini. Tapi dia berhasil memberikan akhir
perbincangan yang menguntungkan dia. “Tapi bedanya kita sama Tom & Jerry,
gua akhirnya bisa ngedapetin elu, Raff. Elu nyerah juga akhirnya, hahaha...”
Mendengar perkataan si Evan gua
akhirnya Cuma bisa diam sambil tersenyum. Mengakui kebenarannya dalam diam dan
gengsi.
“Bener kan?!”
Evan berusaha mengkonfirmasi.
“Hhmmm...”
“Jawaban apaan
tuh?”
“Iya Evaaaan...
elu bener.” Gua menoleh sambil mencubit kedua pipinya si Evan. “Elu akhirnya
dapet jugaaaaa... puas?!”
“Hahaha... gitu
dong. Kalo gitu kan seneng gua, hahaha...” dan Evan pun kemudian menyenderkan
kepalanya di bahu gua. Kita kembali fokus menonton Tom & Jerry.
“Raff...”
“Hmmm...”
“Si Jerry itu
tikus got, ya?”
“Watdefak!”
Sabtu siang, gua
dan Evan, bersama Misca, Margo dan Nanda menghadiri resepsi pernikahan temen
kampus kita. Maklum lah, mereka dari keluarga berada, jadi nikah pas masih
kuliah pun bukan masalah besar. Kan masih punya orang tua yang tajir, hahaha...
gosipnya sih dari Misca katanya si cewek temen kampus kita ini kebobolan.
‘Gawangnya’ akhirnya ke-gol-an juga, sehingga daripada menanggung malu
mendingan dinikahin aja. Lagian mereka juga pacaran udah 4 tahunan.
Intinya saat ini gua dan
rombongan gua sudah berada di JCC, di resepsi pesta pernikahan temen gua yang
super mewah ini. Untung aja gua dan Evan masih punya setelan kemeja, jadi nggak
malu-malu amat beredar diantara orang-orang elit di sana. Gua dan Evan
setelannya hampir mirip. Kita berdua mengenakan setelan kemeja putih dengan
celana bahan hitam serta jas hitam. Kita juga mengenakan dasi slim warna hitam.
Sepatunya pun sama-sama sepatu kulit.
“Enak ya jadi
anak orang tajir, mau nikah aja tinggal bilang; ‘maa, minta kawin!’.” Kata
Nanda, ketika kita bertiga duduk-duduk. Misca dan Evan sedang berburu makanan
entah di mana, soal si Evan tenang aja, segala lemak yang ia konsumsi hari ini,
semuanya akan dikeluarkan kembali lewat ritual lari paginya. Dan selain itu,
gua yakin Misca dan Evan beredar untuk mencari satu hal lagi : Cowok Ganteng!
“Hahahah...
nggak gitu juga kali Nda, mereka pasti ada alasan kenapa milih nikah pas masih
kuliah gini.” Kata gua, dengan mata kemana-mana, salah satunya mencari di mana
keberadaan si Evan. Ah ditemukan; dia sedang bingung milih makanan di salah
satu salah satu sudut.
“Kalo kita mah
mau nikah mesti kumpulin duit dulu.” Kata Margo. “Itupun kalo udah ada
calonnya, kalo belom mah, Cuma ngumpulin duit doang.”
“Hehehe, elo
lagi curcol, Mar?” kata si Nanda sambil ketawa dikit.
“Enak aja.” Kata
Margo.
Kita berdua diam
sebentar menatapi ruangan resepsi yang mewah dan dipenuhi orang-orang tajir
atau setidaknya terlihat tajir.
“Betewe, mereka
bulan madu kemana ya?” tanya Nanda.
“Gua denger dari
gosipnya si Misca sih katanya mereka mau ke Venesia atau nggak Maldives gitu.
Keren ya.” Kata Margo. “Emang enak ya jadi orang kaya, hahaha...”
“Duuuuh, Maldives
kan keren banget tuh tempatnya... Venesia juga keren tuh. Romantis-romantis
gimana gitu tempatnya.” Kata Nanda.
Nanda tampak cantik dengan
pakaian gaun siangnya, sementara Margo bersetelan hampir serupa dengan gua dan
Evan, Cuma dia tidak mengenakan dasi dan kancing paling atasnya ia buka. Misca
sama cantiknya dengan Nanda, mengenakan gaun elegannya disertai dandanan yang
natural.
Misca dan Evan akhirnya kembali
dari berburu. Hasil buruan mereka berupa 5 gelas es krim cokelat Häagen-Dazs
yang Evan bawa dengan sebuah nampan putih.
“Hai
teman-temaaaan...” kata Evan begitu cerianya, seperti induk yang pulang ke
rumah membawa hasil tangkapan untuk keluarganya. “Nih gua bawa oleh-oleh dari
hasil berburu makanan gua.” si Evan meletakan nampan tersebut.
“Elo ngerampok
es krim, Van?” tanya gua begitu melihat betapa banyaknya es krim dalam tiap
gelas tersebut. Gua yakin Evan menyabotase sendok es krimnya dan menyendok es
krimnya secara membabi-buta. “Ini es krim banyak banget. Kaya abis aja ntar gua
makannya.”
“Gua malah
niatnya tadi mau bawa toplesnya sekalian ke sini. Cuma kan gak lucu aja kalo kita
makan berlima dari satu tempat.” Kata Evan.
“Ya tapi ini
tetep aja kebanyakan Van, gua pasti nggak habis nih.” Kata gua.
“Ya udah sih,
kalo nggak habis dibungkus aja buat dibawa pulang. Susah amat.” Evan tampak
bete karena usahanya tidak dihargai.
“Elo tuh ya,
Raff, udah baek si Evan ngebawain elu es krim. Elu bukannya makasih malah
ngeritik.” Misca tampak berusaha di pihak Evan, walaupun gua tau kalo dia juga
geli melihat banyaknya es krim di gelasnya.
“Gua suka kok.”
Kata Margo. “Es krimnya enak. Harusnya elo bawa toplesnya ke sini, Van. Biar
kita bawa pulang, terus lanjut makan di kosan.”
“Elu emang temen
yang baek, Mar.” Kata Evan. “Gitu tuh, temen yang baik. Tau gimana caranya
bikin temen seneng, tau caranya ngehargain usaha temen.” Evan mengatakan
kalimat itu sambil matanya ngelirik-lirik gua. Wah, kalo keterusan bisa
berakhir si Evan ngambek sama gua. Ini nggak bisa dibiarin. Evan kalo ngambek
bisa bawa sial.
“Iya deh, Van...
gua seneng elu bawa es krim banyak-banyak gini. Kalo gua pikir-pikir elu tuh
orangnya berpikir ke depan ya. Elu bawa es krim banyak, supaya bisa dibawa
pulang terus disimpen di kulkas, buat dimakan nanti-nanti. Elu emang hebat,
Van.”
“Kenape lo?”
Evan menatap gua dengan pandangan aneh.
“Nggak, nggak
kenapa-kenapa.” Kata gua.
“Ckckckck,
suami-istri, Cuma gara-gara es krim aja berantem. Bulan madu lagi gih sana.”
Kata si Nanda akhirnya berbicara setelah dia memakan beberapa sendok es krim.
Ini adalah es krim favoritnya soalnya.
“Woy... elu
dateng juga rupanya.” Sebuah suara muncul dan berikutnya orangnya juga
terlihat.
Kita berlima
menoleh ke arah datangnya suara itu.
“Woy, Raf.” Kata
Evan begitu melihat kemunculan Rafael. Gua gak nyangka si Rafael juga datang di
pesta ini. Setelannya mirip sekali dengan setelannya si Margo. “Sama siapa lo
ke sini? Kok gua baru liat elo?”
“Sendiri aja
gua.” jawab Rafael, “Hei, another Raffael, hahaha...”
“Hehehe... apa
kabar lo, Raf?”
“Baek, gua...
elo sendiri gimana?”
“Gua baek,
hehehe... gimana, masih kuliah malem lo?”
“Kagak, gua udah
kuliah pagi lagi sekarang. Kuliah malem banyak setannya.”
“Hahaha... bisa
aja lo.” Gua tertawa kecil.
“Eheemmm... kita
temennya Raffa sama Evan lhooo.” Mendadak Misca berbicara sambil memegang bahu
gua. Gua tau maksudnya.
“Oh, ya Tuhan. Sorry-sorry.”
Rafael tersenyum sebentar menyadari kelupannya berkenalan dengan yang lain.
“Hai, saya Rafael.”
“Ih, namanya
sama ya. Sama-sama ganteng lagi, hihihi... gua mulai berpikir apakah semua
cowok yang namanya Raffael ganteng-ganteng semua?” kata Misca. “Saya Misca.”
“Nanda...”
“Margo.”
“Kemaren-kemaren,
kuliah malem ya, Raf?” tanya Misca. “Deuuuh, untung deh sekarang udah kuliah
pagi lagi. Apa enaknya kuliah malem, kan gak lucu aja kuliah barengan sama mbak
kunti. Mendingan kuliah siang, kan ada kita... ada akuuu.”
“Iya-iya,
makannya sekarang kuliah pagi lagi. Udah kapok duduk sebelahan sama mbak
kunti.” Kata Rafael.
“Hah, yang bener
Raf, elu sering duduk sebelahan sama kuntilanak?” tanya Evan, yang secara lugu
menanggapi serius omongan si Rafael.
“Hahaha, nggak,
becanda doang.”
“Iiiiih, minta
dicubit deeh,” Misca mulai keganjenan. “Seneng banget sih melucuuuu. Tau aja
aku suka yang lucu-lucu.”
“Mis, inget anak
sama suami nunggu di rumah.” Kata si Nanda.
Rafael hanya tertawa sedikit
malu saja menanggapi omongan si Misca.
“Eh gua duluan
ya,” kata Rafael. “Sorry banget nggak bisa lama-lama.”
“Yaaaah, cepet
amat Raf, kita jadi cedih deeeeeh.” Kata Misca sok imoet.
“Iya nih, sorry
banget ya...” kata Rafael, dan dia pun pamit. Berjalan sendiri, menjauh sampai
akhirnya menghilang dibalik kerumunan orang-orang.
“Gua pernah liat
tuh anak. Dulu banget...” kata Nanda begitu Rafael sudah nggak keliatan lagi.
“Gimana-gimana-gimana?”
Misca bertanya dengan semangat.
“Iya, waktu gua
lagi nunggu lift, trus pas pintu lift kebuka gua liat dia, mukanya biru-biru
gitu, sama temennya juga mukanya biru-biru gitu. Kaya abis berantem gitu deh.”
Nanda menjelaskan. “Mana dibelakangnya cewek-cewek pada rempong banget lagi.”
Wajah kita berempat tampak
bingung.
“Biru-biru
gimana? Dia abis gladiresik drama kali, adegan tauran?” kata si Evan.
“Ya meneketehe,
tapi mukannya itu jutek amat. Temennya juga jutek juga. Orang yang pada nunggu
lift aja ampe bengong sebentar ngeliat mereka berdua.” Kata Nanda. “Ya sampai
disitu aja sih, pas mereka keluar gua udah nggak tau lagi.”
“Wah, kenapa
ya.” Kata si Margo. “Abis berantem kali sama temennya.”
“Tapi terlepas
dari semua itu, si Rafael ganteeeeeng, ganteng banget!” kata si Nanda yang
akhirnya keluar juga sisi kecentilannya.
“Huuuuu, dasar
jaim. Giliran tadi ada orangnya diem aja.” Kata si Misca.
“Yah, Mis,
gimana ya, gua kan bukan elu yang obralan-cuci gudang, hahaha...” kata Nanda.
“Sialan...”
“Hahaha...” kita
berlima tertawa bersama.
Kita masih saja ngobrol selama
kira-kira lima belas menit sebelum kemudian memutuskan untuk pulang. Misca,
Nanda dan Margo pulang bersama naik mobil si Margo, sementara gua dan Evan naik
busway menuju apartermen abangnya si Evan. Dari sebelum berangkat ke kondangan
Evan sudah ngajak gua buat berakhir pekan di apartemen abangnya, karena dari
jumat sampai senin abangnya keluar kota.
Begitu tiba gua langsung rebahan
di kasurnya si Evan. Peluk-peluk bantal guling karena kelelahan, satu jam
berdiri di busway itu lumayan juga capeknya. Evan menyusul kemudian, tidur-tiduran
disamping gua.
“Capek ya Raff?”
tanya Evan.
“Iya.” Jawab gua
dengan mata terpejam menikmati nikmatnya perpaduan ranjang empuk dan bantal
empuk.
Tiba-tiba Evan mendekati gua dan
mencium bibir gua.
“Kenapa?” tanya
gua setelah kecupan tadi.
“Pengen aja.”
Jawab Evan sambil kembali tiduran.
“Yeeee, nggak
jelas.” Jawab gua.
Evan Cuma cengar-cengir aja.
“Mandi yuk, gua
nggak enak nih badan gua. Lengket-lengket gitu. Mau ikutan nggak Raff?”
“Ya udah, yuk.”
Kita berdua pun beranjak dari
tempat tidur menuju kamar mandi. Melepaskan kaos kaki kita, kemudian jas kita,
lalu dasi, lalu melepaskan kemeja putih kita, kemudian melepaskan kaos dalam,
lalu menurunkan celana dan terakhir menanggalkan celana dalam kita. Kita
bersama-sama telanjang menuju ke tempat shower.
Menikmati segarnya siraman air
yang melenyapkan rasa lelah. Lalu pancuran dimatikan dan tiba saatnya saling
menyabuni diri. Awalnya kita saling menyabuni diri masing-masing, lalu kemudian
saling menyabuni punggung lawan. Gua pertama menyabuni punggung Evan, lalu
berikutnya Evan yang menyabuni punggung gua. Evan menyabuni punggung gua, namun
kemudian secara perlahan gua merasakan penis gua mulai disabuni lalu
dimain-mainkan, dan saat yang bersamaan gua mulai merasakan Evan mulai
mengecup-ngecup leher belakang gua.
Berikutnya gua membalikan badan
gua dan kitapun berciuman. Shower kembali dinyalakan dan air membasuh tubuh
kita dari sabun. Setelah semenit berciuman Evan merendahkan badannya sampai
berlutut didepan penis gua yang sudah setengah tegang. Ia melumatnya kemudian.
Dalam sekejap sensasi hisapan Evan merasuk ke seluruh tubuh gua. Mata gua
secara alami merem-melek menikmati hisapan Evan.
Kemudian ia kembali berdiri dan
mencium gua. kita berdua memutuskan untuk menyelesaikan mandi kita lalu
mengeringkan diri dan menuju tempat tidur. Gua merebahkan diri telanjang di
kasur Evan, sementara Evan menimpa tubuh gua dan mencium gua, mencium leher
gua, dada gua, pentil gua, perut gua, pusar gua dan berakhir dia menghisap
penis gua. Gua mendesah-desah kenikmatan. Service Evan dalam soal
hisap-menghisap memang juara! Sesekali gua menggelinjang karena tidak sanggup
melawan nikmatnya hisapan mulut Evan.
Setelah lima menit Evan
menservis penis gua, Evan mengeluarkan sebuah kondom dari laci sisi tempat
tidurnya lalu memasangkannya di penis gua yang sudah tegak dan keras. Kemudian
dia mengolesinya dengan pelicin sebelum kemudian dimasukannya ke dalam lobang
pantat Evan.
Kita bercinta sore itu.
Suara-suara desahan beradu dalam nafsu birahi. Evan tiduran dengan kedua kaki
terbuka lebar, memberikan ruang bagi gua untuk menyodok-nyodok pantatnya yang
keras dan montok itu. Gua sesekali mendekati wajah Evan dan menciumnya sambil
penis gua terus menyodok pantatnya.
Beberapa menit berlalu dan kita
berganti posisi, Evan menungging disisi tempat tidur dan gua berdiri
menyodoknya dari belakangnya. Evan tampak menikmati setiap sodokan gua walaupun
sesekali ada rasa perih, sementara gua yang sudah dibakar birahi terus saja
menghajar pantat Evan. Kita berdua tidak henti-hentinya saling mendesah dan
sesekali mengerang kenikmatan. Bosan dengan posisi ini, kini kita berganti
posisi lagi. Kali ini gua yang tiduran sementara Evan menunggangi gua seperti
sedang dalam pacuan kuda. Pantatnya bergerak naik turun diiringi desahan dan
erangan.
Lima menit kemudian ganti lagi
posisi di mana kembali keposisi awal. Evan tiduran terlentang dengan kedua
tangan meramas-remas bantal, sementara gua berada diantar kedua kaki Evan
menyodok-nyodok penis Evan. Gua kembali mencium Evan dengan penuh nafsu yang
ditanggapi tidak kalah hebatnya oleh Evan. Tangan Evan sudah mulai
mengocok-ngocok penisnya dan beberapa menit kemudian perpaduan antara kocokan
penis dan sensasi nikmat gua entot, Evan akhirnya mengeluarkan cairan
spermanya. Menyemprot kencang mengenai wajahnya. Dia mengejang-ngejang disertai
erangan keras sebagai wujud puncak kenikmatanya. Gua pun mempercepat sodokan
gua sampai adrenalin dan birahi menghasilkan rasa orgasme yang luar biasa. Gua
juga mengerang dengan badan gua mengejang ketika cairan sperma gua keluar.
Sensasi kenikmatan yang luar biasa gua rasakan saat ini.
Gua terdiam beberapa saat sampai kemudian kelelahan kembali merasuk ke
diri gua. Gua tertidur lunglai dengan nafas ngos-ngosan di sisi Evan. Kondom
yang sudah terisi sperma masih saja menggantung di penis gua yang sudah mulai
melemas.
“Haaah, capek.”
Kata gua masih berusaha bernafas dengan baik.
“Haaah, enak.”
Kata Evan yang pernafasannya sudah kembali normal.
“Hahaha...” gua
tertawa.
Kita berdiam diri sejenak lalu
setelah dirasa sudah cukup tenaga kita kembali berpindah ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Kali ini murni membersihkan diri, ya walaupun sedikit
diselingi berciuman dan berpelukan.
Lalu setelah dirasa bersih dari
sisa-sisa birahi sebelumnya, gua dan Evan mengeringkan diri dan kembali ke
tempat tidur. Duduk berdua bersandar saling berpelukan dan menyaksikan acara
televisi yang tidak menarik-menarik amat.
“Gua inget,
pertama kali elo ke sini waktu elu malah berakhir sakit.” Kata Evan disela-sela
acara nonton tv asal-asalan kita.
“Iya... dan elu
waktu itu baik banget mau ngerawat gua yang lagi sakit.” Kata gua ikutan
mengingat-ingat saat di mana gua bikin repot Evan dirumahnya sendiri.
“Kan elo temen
gua Raff, elu juga tamu di sini. Udah selayaknya tamu diperlakukan dengan
istimewa.” Kata Evan.
“Iya, sangkin
istimewanya elu ampe mandiin gua segala, hahaha... waktu itu puas banget deh
elu menjamah tubuh gua pas lagi telanjang.” Kata gua.
“Apaan sih lo
Raff, ada-ada aja.” Evan tampak tersipu malu dan salah tingkah dalam pelukan
gua.
“Hahaha,
diraba-riba, diusap-usap, berkah banget ya buat elo waktu itu. Kesempatan
dibalik kesengsaraan orang, hahaha...”
“Raff, itu murni
karena gua pengen ngerawat elu. Elu kotor dan bau, gua jadi iba. Makannya gua
mandiin.” Hahaha, si Evan masih nggak mau ngaku.
“Gua juga jadi
inget pas gua sakit elu nyuapin gua, hahaha...” kata gua sambil tertawa kecil
sendiri.
“Aaaahhh...”
Mendadak Evan teringat sesuatu. Ia pun kemudian beranjak dari tempat tidur dan
berjalan telanjang keluar. Ia kembali kemudian dengan membawa Es krim. Es Krim merek
lain yang dia bawa, gua pikir es krim dari kawinan tadi yang dia selundupkan
untuk dibawa pulang, tapi untungnya itu tidak terjadi. Es krim yang dia bawa sepertinya
es krim sisa kemarin atau apalah, soalnya pas dibuka tutupnya sudah tinggal
setengah. Ia kembali ke kasur dan menyelipkan diri dibalik selimut dan gua
kembali memeluknya. “Paling asik nih pas gini-gini. Nonton, ngobrol sambil
makan es krim.”
“Hahaha, bisaan
aja lo.”
Evan mulai menyuapi gua dan gua
menerimanya. Kemudian ia menyuapi diri sendiri. Dan itupun terus berlanjut
sampai es krim habis. Kita bersama-sama menikmati saat kebersamaan kita. Gua
yang terus disuapi Evan, memeluknya dan pembicaraan kembali mengenai
mengomentari acara yang sedang tayang di televisi.
Sebuah momen
yang tidak sering terjadi ketika gua, Evan, Margo, Misca dan Nanda berjalan
bersama-sama pada siang hari menuju kampus. Bermula dari jadwal kelas yang
mulai bersamaan ditambah kita berlima kebetulan sama-sama laper jadi kita lunch
dulu di warteg terdekat. Lalu setelah makan siang, niatnya pengen ‘bobo-bobo
siang’ dulu tapi itu tidak mungkin terjadi kecuali jika hanya gua dan Evan saja
yang makan siang, kita bergerak bersama menuju kampus.
“Panas ya.” Kata
Misca merasa kepanasan, padahal dia bawa payung pas siang bolong begini. Dia
berduaan sama Nanda berpayung ria, sementara kita cowok-cowok berpanas-panasan
karena gak kebagian payung. “Raff, AC-nya nyalain dong. Panas nih.”
“Orang gila!”
kata gua sambil jalan. “Gimana caranya coba di udara luar gini nyetel AC.”
“Elo makannya
beli AC portabel, Raff.” Kata Misca.
“Orang gila!”
“Lagian elu mis,
ujan juga kagak, elu malah pake payung.” Kata Evan.
“Eh, Evan, asal
elu tau ya, asal mula payung itu dibuat buat ngelindungin orang dari panas
matahari, tauuk! Sekarang-sekarang aja dipake buat supaya nggak kena ujan. Gua
tuh Cuma mencoba mengembalikan kegunaan awal dari payung aja. Lagian gak ada
salahnya juga gua pake payung, orang panas banget. Gua gak mau kulit remaja gua
jadi item.”
“Yeaaah,
whatever.” Kata Evan tidak peduli.
“Eeeeh, sabtu
kita nonton di Gandaria yuk... gua mau ngerasain IMAX nih.” Kata Nanda.
“Mau-mau-mau,
gua juga mau ngerasain IMAX. Kata temen gua keren banget.” Margo menanggapi
dengan semangat.
“Eh gila, sabtu
kan harga tiketnya nggak manusiawi. Seratus ribut, cyin! Maharani!” kata Misca.
“Oh iya ya,”
kata Nanda. “Ya udah kita nonton pas hari biasa aja.”
“Hari biasa
berapa?” Tanya Margo.
“Hari bisa lima
puluh ribu. Setengah harga weekend tuh.” Kata Misca.
“Ya udah.” Margo
menyetujui. “Asik-asik-asiiiik, bisa nonton 3D IMAX.”
“Gandaria itu di
mana ya?” gua yang lugu akan lokasi-lokasi Jakarta bertanya.
“Di Jakarta,
Raff. Elu gimana sih, masa gitu aja nggak tau.” Evan menjawab dengan cerdasnya.
“Eh nenek-nenek
juga tau kalo Gandaria itu di Jakarta, tapi tepatnya di mana, Evaaaaan.” Kata
gua.
“Arah mau ke
pondok indah, Raff, emang agak ribet sih kesananya.” Kata si Nanda. “Tapi enak
kok mallnya, lumayan oke.”
“Ya sip lah kalo
gitu, gua ikut aja ama kalian.” Kata gua. “Van, kalo Pasar Senen deket mana,
Van?”
“Deket Pasar
Rebo.” Evan menjawab dengan mantab!
Kita berempat Cuma bisa
geleng-geleng kepala.
Perjalanan
kita sedang asik-asiknya, diselingi obrolan serta canda dan tawa. Sampai
tiba-tiba segalanya terjadi secepat kilat.
BRAK!
Gua terpental.
Sebuah motor melaju cepat dari arah belakang dan menyerempet gua. Gua
jatuh di aspal dan gua denger Misca dan Nanda menjerit-jerit memanggil nama
gua. Nggak lama kemudian semua menjadi gelap.
Beberapa saat kemudian gua
kembali sadar. Gua berada dalam sebuah mobil.
“Raff, Raff, elu
masih sadar kaaan?” Gua melihat Misca berkata dengan wajah super cemas.
“Oh my God, DARAHNYA
KELUAR BANYAK, MAS!” Seru Evan histeris.
Dan segalanya kembali menjadi
gelap. Lalu beberapa saat gua kembali sadar lagi.
“Raff, elu harus
kuat Raff!” kata Nanda. “Jangan pingsan lagi!”
“Raffa, kita
udah mau nyampe rumah sakit, cuy. Elu harus tetep sadar.” Kata Margo.
Wajah teman-teman gua tampak
begitu panik dan cemas.
“Ya-ya, mas-mas, dia pingsan lagi!” Seru si
Nanda.
Pandangan gua kembali gelap.
“Ini kayanya
tangannya patah nih.” Seseorang yang tidak gua kenal berkata, ketika gua
kembali sadar lagi.
“Yang bener
mas?!” Evan bertanya tidak percaya dan luar biasa khawatir. “Elo jangan
sembarangan!”
“MAS-MAS,
DARAHNYA KELUAR LAGI!” Misca menjerit histeris. “RAFFAAAA, JANGAN MATIIIIII!!!”
Semuanya kembali gelap untuk
waktu yang lama.
Bersambung ke Chapter 18